"Athirah" Keagungan Istri yang Dimadu

REDAKSIRIAU.CO, JAKARTA -- Beban ganda sebagai seorang ibu di wilayah publik dan domestik masih dianggap sebagian orang sebagai hal wajar. Di luar itu, banyak istri sekaligus ibu yang menanggung beban lebih berat tatkala mereka dimadu dan diabaikan suaminya. Film Athirah bercerita dengan bagus tentang derita istri yang dimadu, betapa poligami membawa sengsara daripada bahagia.... Film Athirah mengusung tema penting tentang lembaga perkawinan dan sisi gelap poligami. Dengan cara yang tenang, sutradara Riri Riza membangun logika film lewat metafora tradisi makan bersama keluarga Bugis. Dari sana dia masuk ke dalam ruang yang lebih esensial, yakni keutuhan rumah tangga. "Biasanya menunya sama: ikan bakar segar minimalis," kata Riri, pria asli Bugis yang fasih bercerita tentang masakan palumara dan beragam masakan khas Bugis lain. Maka jangan heran jika dalam film ini muncul belasan kali adegan keluarga Haji Kalla alias Puang Ajji makan bersama. Dalam keluarga Bugis-Makassar, makan bersama menjadi tradisi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kekeluargaan. Setiap anggota keluarga duduk di kursi yang sama pada setiap sesi makan. Ketika salah satu anggota keluarga tidak hadir, kursi itu dibiarkan kosong. Itulah yang terjadi ketika Puang Ajji, yang saat itu menjadi pengusaha sukses, menikah lagi dan lebih sering berada di rumah istri mudanya. Athirah sebagai istri tua akhirnya memutuskan untuk langsung makan tanpa menunggu kehadiran suaminya setelah sekian kali absen di meja makan. Dia pun menyimpan piring dan alat minum Puang Ajji, dan kursinya akhirnya diisi oleh salah satu anak perempuannya. Cantik dan halus Dengan sangat cantik dan halus, Riri Riza menggambarkan betapa poligami telah mengubah struktur keluarga. Bukan saja dalam kebiasaan, tetapi juga wilayah emosi. Anak-anak Puang Ajji tak lagi bersikap sehormat ketika dia belum menikah lagi. Itu juga yang dilakukan Athirah. Apalagi, Puang Ajji tak pernah melibatkan Athirah dalam proses poligami itu: diam-diam menikah lagi. Dalam film Athirah, Puang Ajji pamit untuk keluar kota selama tiga hari. Keesokan harinya, beredar rumor, dia hendak menikah lagi di Jakarta. Padahal, saat itu Athirah tengah hamil tua. Athirah terpukul. Dia sempat merasa suaminya telah hilang. Ini tergambar saat Athirah melipat sarung, yang diterima dari suaminya sebagai mas kawin, ke dalam lemari di posisi paling bawah dari tumpukan baju. Riri juga menggambarkan betapa seorang suami sulit bersikap adil ketika berpoligami. Lebih sayang istri muda. Simak adegan ketika Athirah memberi tahu Puang Ajji bahwa mereka diundang dalam resepsi pernikahan salah satu pegawainya. Itu setelah berhari-hari Puang Ajji tak pulang. Puang Ajji menolak datang dengan alasan banyak pekerjaan. Athirah tetap datang setelah Jusuf Kalla alias Ucu bersedia menemaninya. Sialnya, di resepsi pernikahan itu, Puang Ajji muncul menggandeng mesra istri mudanya. Makin hancur hati Athirah. Dia sadar, tidak bisa lagi bersandar pada suaminya. Kesadaran itu melecutnya bangkit dengan membuka usaha penjualan sarung, memberdayakan ibu-ibu di sekeliling rumah untuk berdaya bersama menenun sarung sutra. Pada akhir tahun 1959, ketika ekonomi Indonesia melemah dan pemerintah melakukan penurunan nilai uang (devaluasi), usaha Puang Ajji ambruk hingga tak mampu menggaji pegawai. Sebagaimana kredo yang memercayai bahwa ketika sakit atau tertimpa masalah, pada akhirnya suami akan pulang ke istri tua. Puang Ajji pun mengadu ke Athirah. Dengan anggun, dia meminta Ucu mengambil sekotak emas yang tersimpan rapi di bawah koper di kolong tempat tidur. Itu hasil dia bekerja sebagai pengusaha sarung. Athirah meminta Puang Ajji menggunakan hartanya untuk membayar gaji pegawai serta utang-utangnya. Puang Ajji menerimanya dengan wajah tertunduk. Athirah membalas seluruh perilaku Puang Ajji yang sangat menyakitkan hati itu dengan tindakan agung: meringankan beban suami. Perjuangan Athirah seolah mengajak masyarakat

Ikuti Terus Redaksiriau.co Di Media Sosial

Tulis Komentar


Loading...